Christmas
18.04 Posted In christmas , family , story 0 Comments »
Hei, guys…. This is a story from our friends, Siska…. Check this out.
Natal hampir tiba. Bagaimana natal tahun ini pun aku tak tahu, yang kuingat saat ini dan seterusnya adalah natal tahun lalu, saat itu aku baru saja diterima sebagai siswi baru di SMAK St. Louis 1 Surabaya. Adikku yang paling kusayangi tapi juga yang paling sering bertengkar denganku masuk rumah sakit. Menyesal kami sekeluarga karena tidak menyadari penderitaan adikku, Ivana. Dokter mengatakan bahwa dia menderita penyakit kanker sudah tiga tahun lebih.
Karena baru masuk dan harus menjalani MOS (Masa Orientasi Sekolah) aku tidak ada kesempatan untuk menjenguknya sampai tiba libur natal. Sepulangnya aku ke Tuban aku langsung berangkat ke RS Cipto Mangun kusuma, Jakarta. Melihat Ivana terduduk di ranjang dan melamun sambil melihat ke luar jendela, aku sangat sedih melihat keadaan Ivana seperti itu, seandainya aku dapat menggantikan penderitaannya atau paling tidak dapat sedikit meringankan sakit yang selama ini ia rasakan.
“Hai Iv, bagaimana keadaanmu?” Itulah kalimat pertama yang kuucapkan setelah beberapa bulan tidak bertemu dengannya.
“Hai cie Siska kapan pulang? Bagaimana sekolahnya?” Jawabnya dengan senyum dan tak terlihat kalau sebenarnya dia menderita penyakit kanker.
“Ivana sudah baca surat cie-cie tentang MOS, rasanya aku jadi tertarik melanjutkan sekolahku di sana. Sepertinya acara MOS cie-cie begitu menyenangkan apalagi waktu pakai kostum sesuai tema yang sudah ditentukan sekolah.” Katanya bersemangat.
“Ya sudah, setahun lagi kamu kan sudah lulus SMP lanjutkan SMA di sinlui aja. Sekarang coba ceritakan bagaimana kelas barumu, teman-teman barumu, pokoknya semunya deh!” Sahutku riang.
Setelah itu dia bercerita macam-macam, teman-temannya yang nakal tapi baik dan kompak, guru-guru barunya, kelasnya yang baru di renovasi, ia juga menunjukkan foto kelasnya dan menyebutkan satu-persatu nama teman-temannya itu. Dia juga cerita tentang novel-novel yang sudah selesai ia baca dan khayalan-khayalannya jika ada novel yang belum selesai ia baca atau tidak happy end. Kalau melihat betapa bahagianya ia saat itu ingin rasanya aku menangis.
“Permisi, maaf mengganggu, Ivana ini pesananmu.” Kata salah seorang suster yang sepertinya sudah akrab dengan Ivana.
“Terima kasih suster.” Sahut Ivana sambil tersenyum.
Itulah pembicaraan singkat yang sempat mengganggu pembicaraan kami. Setelah suster itu menyerahkan pesanan Ivana, ia segera keluar. Tak lama kemudian aku pun keluar , karena Ivana ingin menulis surat.
Setelah keluar dari kamar Ivana, aku segera mencari keluargaku, ternyata mereka berada di depan kantor dokter spesialis yang merawat Ivana. Mama menangis, sedangkan papa tampak berusaha menahan air mata. Kudekati mereka dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Betapa terkejutnya aku ketika papa mengatakan bahwa menurut dokter Ivana tidak akan dapat bertahan sampai tahun baru. Air mataku pun tak dapat kubendung lagi, menyedihkan, terlalu menyedihkan, marah karena ketidaksadaran kami selama ini akan keadaan Ivana, aku pun merasa ini sungguh tak adil karena adikku adalah anak yang pandai dan selalu berprestasi. Saat ini pikiranku benar-benar kalut, semua perasaan bercampur aduk dalam diriku.
Akhirnya kami sekeluarga pulang setelah berpamitan dengan Ivana. Sebenarnya aku sangat ingin menemaninya, tapi nampaknya ia tahu kalau aku masih harus latihan untuk pelayanan choir di hari natal nanti. Hari-hariku sibuk dengan latihan begitu pula papa dan mama yang sibuk mengurus banyak hal karena mereka adalah panitia di hari natal nanti.
Hari natal pun tiba, setelah mengucapkan selamat natal pada Ivana lewat telepon, kami sekeluarga berangkat ke gereja. Ibadah natal berjalan sesuai dengan rencana, penuh sukacita dan kedamaian. Sesampainya di rumah telepon berdering. Setelah beberapa saat mama bicara di telepon, tiba-tiba mama melepaskan telepon itu dari genggamannya, lalu jatuh terduduk dan menangis. Papa segera menggantikan mama untuk bicara, ekspresi wajahnya menunjukkan keterkejutan lalu digantukan dengan kesedihan yang begitu mendalam. Setelah menutup telepon papa mengatakan padaku bahwa Ivana telah meninggal setengah jam yang lalu.
Pagi-pagi sekali kami segera berangkat ke Jakarta. Dokter tidak mengubah sedikit pun posisi Ivana sampai kami datang. Ketika selimut yang menutupi wajah Ivana dibuka, tampaklah sebuah wajah yang kami kenal, wajah itu tersenyum dan terlihat tenang sekali. Mama yang tidak dapat lagi menahan emosinya, akhirnya pingsan.
Setelah keluar dari ruangan, Seorang suster menghampiriku dan memberikan surat kepadaku. Suster yang sama dengan waktu pertama dan terakhir kali aku bicara dengan Ivana setelah ia masuk RS. Kubuka surat itu, aku mengenal tulisan itu, tulisan Ivana adikku. Setelah kubaca surat Ivana, kuberikan surat itu pada papa, dan aku pergi menyendiri untuk menangis.
Sudah setahun setelah peristiwa itu, aku tetap melanjutkan sekolahku di sinlui dan bertekad untuk menjadi seorang akuntan seperti apa yang adikku inginkan, sedangkan papa dan mama tetap setia dalam pelayanan mereka sebagai penatua gereja.
“Sis, Siska, sudah selesai belum, kamu tugas choir kan?”
“Iya ma, aku segera keluar.” Sebelum keluar, aku berhenti dan menatap kembali fotoku dan Ivana, ‘selamat natal Ivana’, kataku dalam hati.
Benar, natal tahun ini aku juga tugas choir seperti tahun lalu dan aku harap natal tahun ini akan berlalu dengan kegembiraan, sukacita, dan damai sejahtera. Biarlah kami dapat menjalani natal tahun ini dan natal tahun-tahun berikutnya dengan baik. Merry Christmas.
Jakarta, 18 Desember 2006
Kepada papa, mama, dan cie-cie Siska, kuucapkan maaf dan terima kasih. Jika kalian membaca surat ini, itu artinya aku sudah tidak ada lagi di dunia ini. Aku tahu persis tubuhku, keadaanku, dan kesehatanku, karena itu kutulis surat ini sebelum waktunya tiba.
Papa dan mama, maafkanlah aku anakmu ini. Aku tak pernah membuat kalian bahagia, hanya selalu menyusahkan dan membuat kalian marah. Aku egois, acuh tak acuh, hanya mementingkan keinginanku sendiri, dan ingin selalu diperhatikan, tapi aku tidak pernah memperhatikan dan mengkhawatirkan papa dan mama seperti yang selama ini dilakukan oleh cie-cie Siska. Aku ini pemberontak, tak pernah mau menurut, dan nakal. Tapi aku ingin papa dan mama tahu kalau aku ingin sekali membuat papa dan mama senang dan bangga dengan apa yang kulakukan dan betapa aku sangat menyayangi papa dan mama.
Cie-cie Siska, mengapa kita selalu bertengkar? Dari masalah kecil selalu menjadi besar dan kita pertengkarkan. Kadang aku membencimu, kadang tidak yang pasti aku sangat iri padamu. Kau mudah bergaul, dan memiliki banyak teman tidak sepertiku. Andai aku sepertimu, betapa senangnya aku. Maafkan aku karena aku tak pernah mau menuruti nasehatmu, dan selalu membuatmu marah yang berujung pada pertengkaran tetapi kau begitu mudah memaafkanku. Aku ingin biasa sepertimu sehingga aku dapat diakui oleh dunia sebagai adikmu yang terbaik dan penuh kasih sepertimu. Walau bagaimana pun aku ingin kau tahu bahwa aku sangat menyayangimu. Sayang waktu berjalan begitu cepat dan kita tidak dapat bertengkar lagi.
Akhir kata, aku sangat menyayangi kalian semua. Aku tak ada jika kalian tak ada. Inilah aku, terimalah aku sebagaimana adanya. Terima kasih atas segala kasih sayang yang kuterima dan maafkanlah segala kesalahan yang kulakukan selama ini. Jalanilah hidup ini sebaik-baiknya dengan penuh kegembiraan dan jangan sia-siakan hidup ini, seperti aku yang menyia-nyiakan hidup ini dengan keegoisan. Hadapilah segala sesuatu dalam hidup ini dengan senyum, ketabahan, dan ucapan syukur kepada Tuhan. Pandanglah selalu yang akan datang. Tuhan memberkati.
Ivana
Natal hampir tiba. Bagaimana natal tahun ini pun aku tak tahu, yang kuingat saat ini dan seterusnya adalah natal tahun lalu, saat itu aku baru saja diterima sebagai siswi baru di SMAK St. Louis 1 Surabaya. Adikku yang paling kusayangi tapi juga yang paling sering bertengkar denganku masuk rumah sakit. Menyesal kami sekeluarga karena tidak menyadari penderitaan adikku, Ivana. Dokter mengatakan bahwa dia menderita penyakit kanker sudah tiga tahun lebih.
Karena baru masuk dan harus menjalani MOS (Masa Orientasi Sekolah) aku tidak ada kesempatan untuk menjenguknya sampai tiba libur natal. Sepulangnya aku ke Tuban aku langsung berangkat ke RS Cipto Mangun kusuma, Jakarta. Melihat Ivana terduduk di ranjang dan melamun sambil melihat ke luar jendela, aku sangat sedih melihat keadaan Ivana seperti itu, seandainya aku dapat menggantikan penderitaannya atau paling tidak dapat sedikit meringankan sakit yang selama ini ia rasakan.
“Hai Iv, bagaimana keadaanmu?” Itulah kalimat pertama yang kuucapkan setelah beberapa bulan tidak bertemu dengannya.
“Hai cie Siska kapan pulang? Bagaimana sekolahnya?” Jawabnya dengan senyum dan tak terlihat kalau sebenarnya dia menderita penyakit kanker.
“Ivana sudah baca surat cie-cie tentang MOS, rasanya aku jadi tertarik melanjutkan sekolahku di sana. Sepertinya acara MOS cie-cie begitu menyenangkan apalagi waktu pakai kostum sesuai tema yang sudah ditentukan sekolah.” Katanya bersemangat.
“Ya sudah, setahun lagi kamu kan sudah lulus SMP lanjutkan SMA di sinlui aja. Sekarang coba ceritakan bagaimana kelas barumu, teman-teman barumu, pokoknya semunya deh!” Sahutku riang.
Setelah itu dia bercerita macam-macam, teman-temannya yang nakal tapi baik dan kompak, guru-guru barunya, kelasnya yang baru di renovasi, ia juga menunjukkan foto kelasnya dan menyebutkan satu-persatu nama teman-temannya itu. Dia juga cerita tentang novel-novel yang sudah selesai ia baca dan khayalan-khayalannya jika ada novel yang belum selesai ia baca atau tidak happy end. Kalau melihat betapa bahagianya ia saat itu ingin rasanya aku menangis.
“Permisi, maaf mengganggu, Ivana ini pesananmu.” Kata salah seorang suster yang sepertinya sudah akrab dengan Ivana.
“Terima kasih suster.” Sahut Ivana sambil tersenyum.
Itulah pembicaraan singkat yang sempat mengganggu pembicaraan kami. Setelah suster itu menyerahkan pesanan Ivana, ia segera keluar. Tak lama kemudian aku pun keluar , karena Ivana ingin menulis surat.
Setelah keluar dari kamar Ivana, aku segera mencari keluargaku, ternyata mereka berada di depan kantor dokter spesialis yang merawat Ivana. Mama menangis, sedangkan papa tampak berusaha menahan air mata. Kudekati mereka dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Betapa terkejutnya aku ketika papa mengatakan bahwa menurut dokter Ivana tidak akan dapat bertahan sampai tahun baru. Air mataku pun tak dapat kubendung lagi, menyedihkan, terlalu menyedihkan, marah karena ketidaksadaran kami selama ini akan keadaan Ivana, aku pun merasa ini sungguh tak adil karena adikku adalah anak yang pandai dan selalu berprestasi. Saat ini pikiranku benar-benar kalut, semua perasaan bercampur aduk dalam diriku.
Akhirnya kami sekeluarga pulang setelah berpamitan dengan Ivana. Sebenarnya aku sangat ingin menemaninya, tapi nampaknya ia tahu kalau aku masih harus latihan untuk pelayanan choir di hari natal nanti. Hari-hariku sibuk dengan latihan begitu pula papa dan mama yang sibuk mengurus banyak hal karena mereka adalah panitia di hari natal nanti.
Hari natal pun tiba, setelah mengucapkan selamat natal pada Ivana lewat telepon, kami sekeluarga berangkat ke gereja. Ibadah natal berjalan sesuai dengan rencana, penuh sukacita dan kedamaian. Sesampainya di rumah telepon berdering. Setelah beberapa saat mama bicara di telepon, tiba-tiba mama melepaskan telepon itu dari genggamannya, lalu jatuh terduduk dan menangis. Papa segera menggantikan mama untuk bicara, ekspresi wajahnya menunjukkan keterkejutan lalu digantukan dengan kesedihan yang begitu mendalam. Setelah menutup telepon papa mengatakan padaku bahwa Ivana telah meninggal setengah jam yang lalu.
Pagi-pagi sekali kami segera berangkat ke Jakarta. Dokter tidak mengubah sedikit pun posisi Ivana sampai kami datang. Ketika selimut yang menutupi wajah Ivana dibuka, tampaklah sebuah wajah yang kami kenal, wajah itu tersenyum dan terlihat tenang sekali. Mama yang tidak dapat lagi menahan emosinya, akhirnya pingsan.
Setelah keluar dari ruangan, Seorang suster menghampiriku dan memberikan surat kepadaku. Suster yang sama dengan waktu pertama dan terakhir kali aku bicara dengan Ivana setelah ia masuk RS. Kubuka surat itu, aku mengenal tulisan itu, tulisan Ivana adikku. Setelah kubaca surat Ivana, kuberikan surat itu pada papa, dan aku pergi menyendiri untuk menangis.
Sudah setahun setelah peristiwa itu, aku tetap melanjutkan sekolahku di sinlui dan bertekad untuk menjadi seorang akuntan seperti apa yang adikku inginkan, sedangkan papa dan mama tetap setia dalam pelayanan mereka sebagai penatua gereja.
“Sis, Siska, sudah selesai belum, kamu tugas choir kan?”
“Iya ma, aku segera keluar.” Sebelum keluar, aku berhenti dan menatap kembali fotoku dan Ivana, ‘selamat natal Ivana’, kataku dalam hati.
Benar, natal tahun ini aku juga tugas choir seperti tahun lalu dan aku harap natal tahun ini akan berlalu dengan kegembiraan, sukacita, dan damai sejahtera. Biarlah kami dapat menjalani natal tahun ini dan natal tahun-tahun berikutnya dengan baik. Merry Christmas.
Jakarta, 18 Desember 2006
Kepada papa, mama, dan cie-cie Siska, kuucapkan maaf dan terima kasih. Jika kalian membaca surat ini, itu artinya aku sudah tidak ada lagi di dunia ini. Aku tahu persis tubuhku, keadaanku, dan kesehatanku, karena itu kutulis surat ini sebelum waktunya tiba.
Papa dan mama, maafkanlah aku anakmu ini. Aku tak pernah membuat kalian bahagia, hanya selalu menyusahkan dan membuat kalian marah. Aku egois, acuh tak acuh, hanya mementingkan keinginanku sendiri, dan ingin selalu diperhatikan, tapi aku tidak pernah memperhatikan dan mengkhawatirkan papa dan mama seperti yang selama ini dilakukan oleh cie-cie Siska. Aku ini pemberontak, tak pernah mau menurut, dan nakal. Tapi aku ingin papa dan mama tahu kalau aku ingin sekali membuat papa dan mama senang dan bangga dengan apa yang kulakukan dan betapa aku sangat menyayangi papa dan mama.
Cie-cie Siska, mengapa kita selalu bertengkar? Dari masalah kecil selalu menjadi besar dan kita pertengkarkan. Kadang aku membencimu, kadang tidak yang pasti aku sangat iri padamu. Kau mudah bergaul, dan memiliki banyak teman tidak sepertiku. Andai aku sepertimu, betapa senangnya aku. Maafkan aku karena aku tak pernah mau menuruti nasehatmu, dan selalu membuatmu marah yang berujung pada pertengkaran tetapi kau begitu mudah memaafkanku. Aku ingin biasa sepertimu sehingga aku dapat diakui oleh dunia sebagai adikmu yang terbaik dan penuh kasih sepertimu. Walau bagaimana pun aku ingin kau tahu bahwa aku sangat menyayangimu. Sayang waktu berjalan begitu cepat dan kita tidak dapat bertengkar lagi.
Akhir kata, aku sangat menyayangi kalian semua. Aku tak ada jika kalian tak ada. Inilah aku, terimalah aku sebagaimana adanya. Terima kasih atas segala kasih sayang yang kuterima dan maafkanlah segala kesalahan yang kulakukan selama ini. Jalanilah hidup ini sebaik-baiknya dengan penuh kegembiraan dan jangan sia-siakan hidup ini, seperti aku yang menyia-nyiakan hidup ini dengan keegoisan. Hadapilah segala sesuatu dalam hidup ini dengan senyum, ketabahan, dan ucapan syukur kepada Tuhan. Pandanglah selalu yang akan datang. Tuhan memberkati.
Ivana
0 komentar:
Posting Komentar